Mengapa
kita harus berbeda?
Agustus 1995
Bus yang kutumpangi bergerak perlahan.
Lalu kios-kios kecil, pepohonan, orang-orang, tiang bendera bahkan sebongkah
batu besar yang entah mengapa bisa ada di samping gapura pool ini mulai terlihat seperti potongan film yang diputar lambat.
Mataku menyipit, mengikuti gerakan itu,
berusaha mengalihkan pikiranku dari hantaman sesak yang sebenarnya sedang
bergelora di dalam dada.
“Fiiii!!”
Lamat kudengar suara memanggil namaku.
Lalu bunyi jendela digedor menarik pendengaranku. Aku menoleh ke bawah. Ayah.
Senyumnya merekah.
Haruskah kubalas senyuman itu? Tatkala
aku ingin menangis, aku harus tersenyum?
Sering kudengar, surga di bawah telapak
kaki ibu. Tetapi ibu sudah menempati surga. Kini ayah yang menyandang gelar
itu. Maka, aku tersenyum.
Tangan kurusnya yang hitam legam
menempel di kaca. Aku melakukan adegan yang sering dilagakan di sinetron,
menempel telapak tanganku tepat di bayangan telapak tangannya. Mungkin terlalu banyak sinetron yang kutonton
selama ini, karena aku bahkan bisa merasakan hangatnya tangan ayah.
Dan aku merasa memiliki alasan sekarang
untuk menangis.
Ayah, dia tetap tersenyum. Tapi aku tahu
senyumnya palsu, karena bibirnya bergetar.
Kuusap airmata di pipi dengan tangan
kiriku, hanya memicingkan mata sekejap, lalu kendaraan yang kutumpangi semakin
cepat bergerak. Suara desing pintu hidrolik menandakan bis sudah siap menempuh
delapan ratus kilometer selama dua hari. Kusibak korden berwarna merah di
sisiku, sekadar memberi sedikit ruang agar aku bisa melihat ayah.
Saat bayangan tubuhnya menghilang, baru
aku menegakkan tubuhku. Pundakku mendadak layu. Rasa sesak yang tadi sempat
menghilang, kini menderaku lagi.
Apa yang sedang dilakukan dia sekarang?
Hari ini Sabtu, dia pasti menungguku di tempat biasanya. Menunggu terus hingga
tempat itu tutup dan saat itu aku sudah berada di ratusan kilometer jauhnya
dari dia.
***
Januari 2016
“Mama!”
Aku mengangkat wajah dari laptop, putra
bungsuku. Dia melompat turun dari motor ayahnya, lalu kulihat dari balik
jendela, berhambur masuk ke dalam rumah. Lalu seperti biasanya dia berceloteh
tentang hari-harinya di sekolah. Dia baru berusia delapan tahun, masih mau
berbagi cerita dengan ibunya, masa-masa yang harus kunikmati sepenuh hati,
sebelum masa itu menghilang digantikan dengan proses mencari jati diri seorang
remaja yang menyebalkan harus kuhadapi lagi.
“Atthaya tadi bisa ulangannya?” tanyaku
dengan senyum seolah-olah penasaran. Peranan yang harus aku lakoni agar tak sedetikpun
aku kehilangan perhatiannya kepadaku.
Dia tertawa, memperlihatkan lesung di
kedua pipinya. Ketampanan yang diwariskan oleh Mas Amrie, suamiku.
“Azka udah pulang, Ma?” tanya Mas Amrie
sembari mengenyakkan dirinya ke sofa di sebelahku.
“Udah, langsung bimbel, katanya ngejar
materi UN.”
Mas Amrie mengangguk, lalu memejamkan
matanya. Suami yang telah kunikahi selama lima belas tahun, masih terlihat
tampan di usianya yang sudah melewati angka empat puluh.
Tidak. Aku ralat. Bagi seorang pria,
usia empat puluh adalah usia sempurna, matang pohon. Dimana segala pesona yang
dimilikinya seolah berebutan keluar, ditunjukkan kepada dunia dengan sombongnya,
termasuk kepadaku.
“Aku ke kios dulu, Ma,” pamitnya,
kemudian beranjak pergi, ke salah satu kios buah yang kami miliki.
“Iya, laris ya, Pa.” Restuku. Harapku.
Doaku. Dia tersenyum, dengan mata tulus yang membuatku menerima cinta dan mau
dinikahinya.
Suara motornya menjauh, lalu aku kembali
menekuni laptop, menyusun laporan keuangan usaha kami.
Aku tenggelam dalam lautan angka dan
kepusingan tersendiri. Bidang studi yang aku hindari saat sekolah dulu, kini
menjadi santapan harianku. Berusaha mengerjakan secepat mungkin sebelum aku
mempersembahkan sebagian besar waktuku untuk anak-anak.
Suara getar ponsel di atas meja memecah
konsentrasiku. Aku berharap itu adalah suara notif dari salah satu grup chatting yang membuat aku betah
berlama-lama menikmati “me time” di
dunia maya.
Keningku berkerut melihat nomer asing
yang terpampang di chatroom, dengan satu kalimat yang membuat aku menahan napas
dan bumiku berhenti berputar.
Hai
Alfi, aku Andreas. Apa kabar?
***
Agustus 1993
Ruang gedung olahraga sekolah menengah
atasku bergema tepuk riuh orang-orang di dalamnya. Hari ini semifinal lomba paduan
suara. Aku bukan peserta, karena menurut Zulqa sahabatku, jangankan bernyanyi, bernapas
pun aku terdengar sumbang.
Jadi aku hanya menjadi tim penggembira
bagi paduan suara sekolahku dan tim pembuat “down” paduan suara dari sekolah
lainnya.
“Alfi! Sini!” teriak Zulqa. Tubuh
kurusnya telah membuatnya begitu gesit untuk menyelinap di antara para penonton
dan bak seekor kucing, dia menandai
tempat duduk kami berdua dengan meletakkan tas sekolahnya di sana. Dia
cengar-cengir penuh kemenangan. Dan aku baru tahu alasannya bertingkah seperti
monyet yang diberi makanan setelah dia menjelaskan tempat duduk itu
bersebelahan dengan tempat para peserta dari sekolah lain. Dan itu artinya
adalah, pemandangan indah setelah setiap hari jenuh hanya melihat wajah yang
itu-itu saja.
Aku berusaha menerobos. Tidak mudah
bagiku, karena aku tidak selincah Zulqa atau pun memiliki ambisi besar yang
menjadi bahan bakar untuk meraih apa pun keinginan yang ada.
Gemuruh tepuk tangan terurai lagi. Baru
saja grup pertama menyelesaikan lagunya. Aku menunggu peserta berikutnya. Mau
tidak mau aku harus menunggu hingga acara selesai karena dari nomer urut yang
di dapat, sekolahku mendapat nomer buntut, terakhir.
“Dari SMA Santo Yosep, paduan suara
Jubilee!” Panggilan panitia mengalahkan gemuruh itu.
Tepuk tangan terurai lagi, kini lebih
kencang.
Sekelompok orang yang duduk di sebelahku
berdiri. Ah, ternyata mereka. Aku menoleh, memperhatikan gerak-gerik mereka
semua. Tiba-tiba satu dari mereka yang tengah bersiap untuk menuruni panggung
penonton berjongkok. Aku mengikuti gerakannya. Seorang cowok bertubuh jangkung,
tidak terlihat jelas wajahnya tengah mengikat tali sepatunya.
Aku masih ngotot memperhatikannya saat
wajah itu terangkat. Demi apa, mata kami bertemu. Aku terkesima
dan dia pun begitu. Aku tidak mengenalnya, tetapi ada sesuatu yang membuatku
merasa... akrab.
Hanya lima detik, aku menunduk kalah
oleh tatapan tajam mata sipitnya. Tanganku bergerak canggung seolah membetulkan
jilbabku yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Kemudian si mata sipit itu berdiri,
menoleh sekali ke arahku sebelum dia bergegas menyusul teman lainnya.
Sejak saat itu, akulah kutub negatif
magnet dan dia kutub positifnya. Mata kami tak pernah berusaha untuk melepaskan
diri dari keterikatan yang tak kasat mata itu.
***
Agustus 1994
“Kenapa kamu tidak pernah mengijinkan
aku ke rumahmu, Fi? Kita udah pacaran setahun, tapi—”
“Pentingkah?” Aku memotong kalimatnya.
“Sangat. Paling tidak—”
“Lain kali,” potongku lagi. Kali ini
Andreas diam. Mungkin dia sudah hapal kekeras kepalaanku. Atau mungkin dia
sudah letih dengan pengabaianku? Tidak mungkin, ini pasti karena kesabaran yang
dia miliki untukku tak pernah habis.
Malam itu, setelah lomba paduan suara,
aku mendapatkan kejutan luar biasa. Kehadiran Andreas di depan pintu rumahku.
Apa yang bisa kulakukan saat itu,
hanyalah terperangah. Kemudian senyumnya merekah, menertawakan kekikukanku.
Lalu sentuhan tangannya di tanganku menyadarkanku bahwa dia nyata. Hadir pada malam
itu dengan kata cintanya.
Bagaimana debar jantungku? Tak usah kamu
menanyakannnya. Andai kamu meletakkan
tanganmu tepat di dadaku, kamu akan terhempas karena degub jantung yang
bertalu-talu dengan hebatnya.
Tak ada istilah pedekate, sebelum dua puluh empat jam sejak pertemuan di acara
lomba, kami berdua sudah berstatus sepasang kekasih.
Ruang tamu rumah menjadi saksi atas
cinta pertamaku. Sejak saat itu, aku melihat dunia tak lagi sama. Warnanya terlihat
begitu cerah. Langit terlihat lebih biru. Dedaunan terlihat begitu hijau dan pelangi seolah hadir setiap saat, kala
hujan mengguyur atau saat pohon meranggas di bawah terik matahari.
***
Agustus 2016
Ø Kamu
tahu darimana nomerku?
Ø Dua
puluh tahun, aku mencari nomermu. Masa aku tidak bisa menemukannya?
Hatiku berdesir.
Dia tidak pernah berubah. Keromantisannya yang sanggup membuat
lututku melemas.
Ø Wkwkwkw
Jemariku
menggantung di udara, hanya sanggup mengetikkan tawaku di sana. Ketika
kutekan tombol “enter”, aku mengambil
ujung jilbab dan menutup wajahku yang terasa panas.
Lalu,
berjam-jam kemudian aku terhanyut, pada ceritanya, apa yang telah terjadi
selama masa dia jauh dariku. Apa yang terjadi padaku selama masa aku menjauh
darinya. Bagaimana keadaan ketiga anak-anaknya, bagaimana kedua anakku tumbuh.
Dan
cerita itu menjadi cerita bersambung yang tak ada putus-putusnya hingga purnama
berganti.
Derai
tawanya, perhatiannya, menyeretku kembali ke masa lalu, dan semakin mendorongku
ke tepian jurang saat suatu hari aku medapatkan kalimat yang mampu menjungkir
balikkan hidupku dalam satu detik.
Ø Aku
masih mencintai kamu, Alfi.
***
Februari 1995
Ayah menatapku tajam.
“Ada yang laporan ke ayah, kamu pacaran
sama Andreas. Benar?”
Aku menunduk.
“Benar?!!!”
Aku tujuh belas tahun, kehilangan ibu
sejak usiaku sepuluh tahun. Ayah yang mengasuhku, memberi segenap kasih sayang
dan cintanya padaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, seakan ada gumpalan
bernama nyali ada di kerongkonganku, bersiap untuk menghilang selamanya, masuk
ke dalam ususku, lambung kemudian keluar dengan nama tai.
“Tidak! Alfi tidak punya pacar,”
sanggahku. Taiku sudah larut bersama air.
Ayah mengangguk puas.
Kapan
sih aku tidak pernah memuaskan keinginan ayah? Nilai bagus? Rajin memasak buat
ayah dan kakak? Sekarang, untuk menjadi anak soleha pun bukan perkara susah.
Andreas?
Aku percaya, waktu akan menyembuhkan semua
luka.
***
Agustus 2016
Mataku menatap nanar kalimat itu.
Pernyataan cinta Andreas yang kedua kalinya padaku.
Sama seperti dua puluh tahun yang lalu,
mampu membuatku melayang. Mampu membuatku gelap mata hingga tak mampu melihat
perbedaan mencolok antara kami berdua.
Tapi aku bukan Alfi yang dulu, Alfi yang
tidak memiliki prinsip, Alfi yang terlalu pengecut untuk menghadapi hidup. Kini
aku tahu apa yang harus aku lakukan.
***
September 2016
Aku
menghilang seminggu ini, An. Maafkan aku, aku butuh waktu, untuk memikirkan
lagi. Apakah aku harus sekali lagi melukaimu atau aku harus melukai orang-orang
tercinta di sekitar kita?
Aku minta
maaf, atas perbuatanku dua puluh tahun yang lalu, meninggalkanmu tanpa pesan.
Pergi menghilang begitu saja tanpa memikirkan perasaanmu saat itu. Aku sudah
menjelaskan padamu beberapa waktu lalu, alasan sebenarnya aku harus menjauh
darimu.
Pengecut.
Iya aku pengecut, An. Kamu berhak untuk memakiku, kamu berhak untuk menghujatku
kalau perlu. Tapi aku tahu persis hatimu, An.
Andai
dulu aku sudah dewasa seperti sekarang, mungkin keadaan tidak akan seperti ini.
Terima
kasih, An, atas cintamu padaku. Tanpa aku katakan, kamu tahu persis apa
jawabanku. Tetapi kenyataan di depan mata kita.
Haruskah
banjir airmata terjadi demi keinginan kita berdua?
Tidak,
An. Aku tidak mau itu terjadi. Aku yakin, kamu pun tidak ingin hal itu terjadi.
Biarlah
apa yang pernah terjadi di antara kita,
melebur bersama angin yang berembus, agar aku dan kamu tetap bisa bernapas.
Selamat
tinggal, Andreas.
Andreas mencengkeram ponsel di tangannya.
Ada kerlip memantul dari genangan air mata. Mengerjap beberapa kali, mencegah
butiran itu menetes di pipinya.
“Papa! Ayo berangkat ke Gereja!”
Teriakan bening membuyarkan semua rasa
sesak yang menyergapnya.
Dia membalas senyuman itu, menempelkan
pipinya ke pipi montok kemerahan itu, sebutir air mata jatuh menetes.
***
TAMAT