Selasa, 06 September 2016

Mengapa kita harus berbeda?





Mengapa kita harus berbeda?


Agustus 1995


Bus yang kutumpangi bergerak perlahan. Lalu kios-kios kecil, pepohonan, orang-orang, tiang bendera bahkan sebongkah batu besar yang entah mengapa bisa ada di samping gapura pool ini mulai terlihat seperti potongan film yang diputar lambat.
Mataku menyipit, mengikuti gerakan itu, berusaha mengalihkan pikiranku dari hantaman sesak yang sebenarnya sedang bergelora di dalam dada.

“Fiiii!!”

Lamat kudengar suara memanggil namaku. Lalu bunyi jendela digedor menarik pendengaranku. Aku menoleh ke bawah. Ayah. Senyumnya merekah.
Haruskah kubalas senyuman itu? Tatkala aku ingin menangis, aku harus tersenyum?
Sering kudengar, surga di bawah telapak kaki ibu. Tetapi ibu sudah menempati surga. Kini ayah yang menyandang gelar itu. Maka, aku tersenyum.

Tangan kurusnya yang hitam legam menempel di kaca. Aku melakukan adegan yang sering dilagakan di sinetron, menempel telapak tanganku tepat di bayangan telapak tangannya.  Mungkin terlalu banyak sinetron yang kutonton selama ini, karena aku bahkan bisa merasakan hangatnya tangan ayah.
Dan aku merasa memiliki alasan sekarang untuk menangis.

Ayah, dia tetap tersenyum. Tapi aku tahu senyumnya palsu, karena bibirnya bergetar.
Kuusap airmata di pipi dengan tangan kiriku, hanya memicingkan mata sekejap, lalu kendaraan yang kutumpangi semakin cepat bergerak. Suara desing pintu hidrolik menandakan bis sudah siap menempuh delapan ratus kilometer selama dua hari. Kusibak korden berwarna merah di sisiku, sekadar memberi sedikit ruang agar aku bisa melihat ayah.

Saat bayangan tubuhnya menghilang, baru aku menegakkan tubuhku. Pundakku mendadak layu. Rasa sesak yang tadi sempat menghilang, kini menderaku lagi.

Apa yang sedang dilakukan dia sekarang? Hari ini Sabtu, dia pasti menungguku di tempat biasanya. Menunggu terus hingga tempat itu tutup dan saat itu aku sudah berada di ratusan kilometer jauhnya dari dia.
***
Januari 2016

“Mama!”

Aku mengangkat wajah dari laptop, putra bungsuku. Dia melompat turun dari motor ayahnya, lalu kulihat dari balik jendela, berhambur masuk ke dalam rumah. Lalu seperti biasanya dia berceloteh tentang hari-harinya di sekolah. Dia baru berusia delapan tahun, masih mau berbagi cerita dengan ibunya, masa-masa yang harus kunikmati sepenuh hati, sebelum masa itu menghilang digantikan dengan proses mencari jati diri seorang remaja yang menyebalkan harus kuhadapi lagi.

“Atthaya tadi bisa ulangannya?” tanyaku dengan senyum seolah-olah penasaran. Peranan yang harus aku lakoni agar tak sedetikpun aku kehilangan perhatiannya kepadaku.

Dia tertawa, memperlihatkan lesung di kedua pipinya. Ketampanan yang diwariskan oleh Mas Amrie, suamiku.

“Azka udah pulang, Ma?” tanya Mas Amrie sembari mengenyakkan dirinya ke sofa di sebelahku.

“Udah, langsung bimbel, katanya ngejar materi UN.”

Mas Amrie mengangguk, lalu memejamkan matanya. Suami yang telah kunikahi selama lima belas tahun, masih terlihat tampan di usianya yang sudah melewati angka empat puluh.

Tidak. Aku ralat. Bagi seorang pria, usia empat puluh adalah usia sempurna, matang pohon. Dimana segala pesona yang dimilikinya seolah berebutan keluar, ditunjukkan kepada dunia dengan sombongnya, termasuk kepadaku.

“Aku ke kios dulu, Ma,” pamitnya, kemudian beranjak pergi, ke salah satu kios buah yang kami miliki.

“Iya, laris ya, Pa.” Restuku. Harapku. Doaku. Dia tersenyum, dengan mata tulus yang membuatku menerima cinta dan mau dinikahinya.

Suara motornya menjauh, lalu aku kembali menekuni laptop, menyusun laporan keuangan usaha kami.

Aku tenggelam dalam lautan angka dan kepusingan tersendiri. Bidang studi yang aku hindari saat sekolah dulu, kini menjadi santapan harianku. Berusaha mengerjakan secepat mungkin sebelum aku mempersembahkan sebagian besar waktuku untuk anak-anak.

Suara getar ponsel di atas meja memecah konsentrasiku. Aku berharap itu adalah suara notif dari salah satu grup chatting yang membuat aku betah berlama-lama menikmati “me time” di dunia maya.
Keningku berkerut melihat nomer asing yang terpampang di chatroom, dengan satu kalimat yang membuat aku menahan napas dan bumiku berhenti berputar.

Hai Alfi, aku Andreas. Apa kabar?

***

Agustus 1993

Ruang gedung olahraga sekolah menengah atasku bergema tepuk riuh orang-orang di dalamnya. Hari ini semifinal lomba paduan suara. Aku bukan peserta, karena menurut Zulqa sahabatku, jangankan bernyanyi, bernapas pun aku terdengar sumbang.

Jadi aku hanya menjadi tim penggembira bagi paduan suara sekolahku dan tim pembuat “down” paduan suara dari sekolah lainnya.

“Alfi! Sini!” teriak Zulqa. Tubuh kurusnya telah membuatnya begitu gesit untuk menyelinap di antara para penonton dan  bak seekor kucing, dia menandai tempat duduk kami berdua dengan meletakkan tas sekolahnya di sana. Dia cengar-cengir penuh kemenangan. Dan aku baru tahu alasannya bertingkah seperti monyet yang diberi makanan setelah dia menjelaskan tempat duduk itu bersebelahan dengan tempat para peserta dari sekolah lain. Dan itu artinya adalah, pemandangan indah setelah setiap hari jenuh hanya melihat wajah yang itu-itu saja. 

Aku berusaha menerobos. Tidak mudah bagiku, karena aku tidak selincah Zulqa atau pun memiliki ambisi besar yang menjadi bahan bakar untuk meraih apa pun keinginan yang ada.

Gemuruh tepuk tangan terurai lagi. Baru saja grup pertama menyelesaikan lagunya. Aku menunggu peserta berikutnya. Mau tidak mau aku harus menunggu hingga acara selesai karena dari nomer urut yang di dapat, sekolahku mendapat nomer buntut, terakhir.

“Dari SMA Santo Yosep, paduan suara Jubilee!” Panggilan panitia mengalahkan gemuruh itu.
Tepuk tangan terurai lagi, kini lebih kencang.

Sekelompok orang yang duduk di sebelahku berdiri. Ah, ternyata mereka. Aku menoleh, memperhatikan gerak-gerik mereka semua. Tiba-tiba satu dari mereka yang tengah bersiap untuk menuruni panggung penonton berjongkok. Aku mengikuti gerakannya. Seorang cowok bertubuh jangkung, tidak terlihat jelas wajahnya tengah mengikat tali sepatunya.

Aku masih ngotot memperhatikannya saat wajah itu terangkat. Demi apa, mata kami bertemu. Aku terkesima dan dia pun begitu. Aku tidak mengenalnya, tetapi ada sesuatu yang membuatku merasa... akrab.

Hanya lima detik, aku menunduk kalah oleh tatapan tajam mata sipitnya. Tanganku bergerak canggung seolah membetulkan jilbabku yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Kemudian si mata sipit itu berdiri, menoleh sekali ke arahku sebelum dia bergegas menyusul teman lainnya.
Sejak saat itu, akulah kutub negatif magnet dan dia kutub positifnya. Mata kami tak pernah berusaha untuk melepaskan diri dari keterikatan yang tak kasat mata itu.


***

Agustus 1994

“Kenapa kamu tidak pernah mengijinkan aku ke rumahmu, Fi? Kita udah pacaran setahun, tapi—”

“Pentingkah?” Aku memotong kalimatnya.

“Sangat. Paling tidak—”

“Lain kali,” potongku lagi. Kali ini Andreas diam. Mungkin dia sudah hapal kekeras kepalaanku. Atau mungkin dia sudah letih dengan pengabaianku? Tidak mungkin, ini pasti karena kesabaran yang dia miliki untukku tak pernah habis.

Malam itu, setelah lomba paduan suara, aku mendapatkan kejutan luar biasa. Kehadiran Andreas di depan pintu rumahku.

Apa yang bisa kulakukan saat itu, hanyalah terperangah. Kemudian senyumnya merekah, menertawakan kekikukanku. Lalu sentuhan tangannya di tanganku menyadarkanku bahwa dia nyata. Hadir pada malam itu dengan kata cintanya.

Bagaimana debar jantungku? Tak usah kamu menanyakannnya. Andai kamu  meletakkan tanganmu tepat di dadaku, kamu akan terhempas karena degub jantung yang bertalu-talu dengan hebatnya.
Tak ada istilah pedekate, sebelum dua puluh empat jam sejak pertemuan di acara lomba, kami berdua sudah berstatus sepasang kekasih.

Ruang tamu rumah menjadi saksi atas cinta pertamaku. Sejak saat itu, aku melihat dunia tak lagi sama. Warnanya terlihat begitu cerah. Langit terlihat lebih biru. Dedaunan terlihat begitu hijau  dan pelangi seolah hadir setiap saat, kala hujan mengguyur atau saat pohon meranggas di bawah terik matahari.
***
Agustus 2016

       Ø  Kamu tahu darimana nomerku?
       Ø  Dua puluh tahun, aku mencari nomermu. Masa aku tidak bisa menemukannya?

Hatiku berdesir. Dia tidak pernah berubah. Keromantisannya yang sanggup membuat
lututku melemas. 

      Ø  Wkwkwkw

Jemariku menggantung di udara, hanya sanggup mengetikkan tawaku di sana. Ketika
kutekan tombol “enter”, aku mengambil ujung jilbab dan menutup wajahku yang terasa panas.

            Lalu, berjam-jam kemudian aku terhanyut, pada ceritanya, apa yang telah terjadi selama masa dia jauh dariku. Apa yang terjadi padaku selama masa aku menjauh darinya. Bagaimana keadaan ketiga anak-anaknya, bagaimana kedua anakku tumbuh.

            Dan cerita itu menjadi cerita bersambung yang tak ada putus-putusnya hingga purnama berganti.

            Derai tawanya, perhatiannya, menyeretku kembali ke masa lalu, dan semakin mendorongku ke tepian jurang saat suatu hari aku medapatkan kalimat yang mampu menjungkir balikkan hidupku dalam satu detik.

       Ø  Aku masih mencintai kamu, Alfi.

***

      Februari 1995

      Ayah menatapku tajam.

      “Ada yang laporan ke ayah, kamu pacaran sama Andreas. Benar?”

      Aku menunduk.

      “Benar?!!!”

      Aku tujuh belas tahun, kehilangan ibu sejak usiaku sepuluh tahun. Ayah yang mengasuhku, memberi segenap kasih sayang dan cintanya padaku. Aku menelan ludah dengan susah payah, seakan ada gumpalan bernama nyali ada di kerongkonganku, bersiap untuk menghilang selamanya, masuk ke dalam ususku, lambung kemudian keluar dengan nama tai.

      “Tidak! Alfi tidak punya pacar,” sanggahku. Taiku sudah larut bersama air.

      Ayah mengangguk puas.

Kapan sih aku tidak pernah memuaskan keinginan ayah? Nilai bagus? Rajin memasak buat ayah dan kakak? Sekarang, untuk menjadi anak soleha pun bukan perkara susah.

      Andreas?

      Aku percaya, waktu akan menyembuhkan semua luka.

***
       Agustus 2016

      Mataku menatap nanar kalimat itu. Pernyataan cinta Andreas yang kedua kalinya padaku.
      Sama seperti dua puluh tahun yang lalu, mampu membuatku melayang. Mampu membuatku gelap mata hingga tak mampu melihat perbedaan mencolok antara kami berdua.

      Tapi aku bukan Alfi yang dulu, Alfi yang tidak memiliki prinsip, Alfi yang terlalu pengecut untuk menghadapi hidup. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan.


***

      September 2016

      Aku menghilang seminggu ini, An. Maafkan aku, aku butuh waktu, untuk memikirkan lagi. Apakah aku harus sekali lagi melukaimu atau aku harus melukai orang-orang tercinta di sekitar kita?

      Aku minta maaf, atas perbuatanku dua puluh tahun yang lalu, meninggalkanmu tanpa pesan. Pergi menghilang begitu saja tanpa memikirkan perasaanmu saat itu. Aku sudah menjelaskan padamu beberapa waktu lalu, alasan sebenarnya aku harus menjauh darimu.

      Pengecut. Iya aku pengecut, An. Kamu berhak untuk memakiku, kamu berhak untuk menghujatku kalau perlu. Tapi aku tahu persis hatimu, An.

      Andai dulu aku sudah dewasa seperti sekarang, mungkin keadaan tidak akan seperti ini.
      Terima kasih, An, atas cintamu padaku. Tanpa aku katakan, kamu tahu persis apa jawabanku. Tetapi kenyataan di depan mata kita.

      Haruskah banjir airmata terjadi demi keinginan kita berdua?

      Tidak, An. Aku tidak mau itu terjadi. Aku yakin, kamu pun tidak ingin hal itu terjadi.
      Biarlah apa yang  pernah terjadi di antara kita, melebur bersama angin yang berembus, agar aku dan kamu tetap bisa bernapas.

      Selamat tinggal, Andreas.

      Andreas mencengkeram ponsel di tangannya. Ada kerlip memantul dari genangan air mata. Mengerjap beberapa kali, mencegah butiran itu menetes di pipinya.

      “Papa! Ayo berangkat ke Gereja!”

      Teriakan bening membuyarkan semua rasa sesak yang menyergapnya.

      Dia berdiri, menerima hamburan pelukan putri bungsunya. Mata sipit putrinya membentuk bulan sabit.

      Dia membalas senyuman itu, menempelkan pipinya ke pipi montok kemerahan itu, sebutir air mata jatuh menetes.
***
TAMAT